♠ Posted by
Unknown
in
Budaya
at
6:31:00 AM
Suatu hari, seorang penduduk setempat menemukan banyak sarang burung
walet di sekitar hutan Gunung Tumpang Pitu, Pesanggaran, Banyuwangi.
Ketika ia akan memanen keesokan harinya, ternyata sarang walet itupun
sirna entah ke mana.
Cerita tentang penemuan sarang walet oleh penduduk di sekitar Gunung Tumpang Pitu yang kemudian hilang, hanyalah sebagian cerita mistis di sana. Cerita mistis lain begitu banyak berserakan menemani kehidupan masyarakat tetangga Pulau Bali ini.
Namun ketika melakukan investigasi ke sana, kenyataan berbeda sempat dirasakan awak tim investigasi. Apalagi saat memasuki wilayah Banyuwangi yang berbatasan dengan Kabupaten Jember, suguhan alam begitu menyegarkan pandangan.
Jalan berkelok-kelok dengan lebatnya hutan di kanan dan kiri jalan kawasan Alas Mrawan semakin memperlihatkan keindahan wilayah tersebut. Bahkan kesan mistis atau angker sama-sekali tidak mampu dirasakan karena tatapan penduduk di tepi jalan begitu ramah.
Setelah sekitar tiga jam menempuh perjalanan dari kota Jember, tim mencapai tempat tujuan, tepatnya di kawasan Pantai Pulau Merah, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Di atas pantai itu, berdiri dengan tegap jajaran perbukitan bernama Gunung Tumpang Pitu.
Keberadaan gunung tersebutlah membuat mau berkunjung ke kawasan pantai selatan itu. Di sana terdapat penambangan emas, konon pemodalnya asal Jakarta yang kini dampaknya dicemaskan sebagian masyarakat di wilayah tersebut.
Di sekitar Pantai Pulau Merah, mendapatkan banyak informasi terkait keberadaan beberapa tempat di wilayah itu dari seorang perempuan penjual bakso. Dari perempuan itulah, cerita-cerita mistis di sekitar Banyuwangi kini mulai muncul kembali.
Ilustrasi penambangan
Ia bercerita tentang banyaknya harta karun di Gunung Tumpang Pitu. Perempuan itu juga menunjukkan contoh uang berbentuk koin berwarna keemasan yang sempat ditemukan dalam jumlah banyak. Misteri lain, banyak pula diceritakan perempuan paruh baya ini.
Ketika mulai bergerak untuk mendaki gunung, segerombolan pemuda yang ditemui tim sama sekali bersikap tidak ramah. Bahkan suara bisik-bisik terdengar dari kumpulan pemuda itu. “Kasih tahu kalau di atas (Gunung Tumpang Pitu) ada macan,” begitu kata salah seorang pemuda kepada teman-temannya.
Bagi tim, ucapan seperti itu tidak dapat dianggap biasa saja. Paling tidak perkataan tersebut merupakan reaksi ketidaksenangan atas kehadiran orang asing di wilayah tersebut.
Benar saja, ketika tim baru saja menyusuri jalan setapak sekitar tiga ratus meter menuju punggung Gunung Tumpang Pitu, beberapa orang yang sempat ditemui di jalanan ternyata semuanya kompak “tutup mulut”.
Tidak satupun dari mereka mau memberikan informasi terkait penambangan emas di gunung tersebut. Meski di antara mereka ada yang menyempatkan diri berbicara, tapi tak ada jawaban memuaskan muncul darinya.
Walaupun beberapa kali tidak memperoleh jawaban memuaskan, tim tetap terus melakukan perjalanannya. Hingga pada akhirnya, perjalanan tim sampai di sebuah tempat, Pura Segara Tawang Alun.
Apa yang ditunggu-tunggu kini mulai menunjukkan penampakannya, Banyuwangi yang sangat dikenal dengan dunia mistisnya, kini mulai menunjukkan tanda-tanda adanya dimensi tersebut lewat Pura Segara Tawang Alun yang ada di depan mata.
Jika dilihat sekilas, pura tersebut tidak berbeda dengan kebanyakan pura lainnya. Akan tetapi letakknya yang berada di kaki gunung dan hanya berjarak beberapa meter saja dari pantai laut selatan, posisi ini jelas menunjukkan bahwa pura tersebut bukan pura biasa.
Ragam Misteri
Ternyata, Pura Segara Tawang Alun memang bukan pura biasa. Budayawan Banyuwangi, Hasnan Singodimayan menuturkan, bahwa di kawasan tersebut dahulunya merupakan tempat pertapaanWong Agung Wilis.
“Di wilayah Banyuwangi sebelah selatan, dulunya tempat pertapaan Wong Agung Wilis. Tokoh setelah Prabu Tawang Alun pada abad 16 ini, berjuang melawan kompeni Belanda di daerah Grajagan sampai wilayah selatan hingga ke Pulau Merah,” demikian pemaparan Hasnan.
Masih menurut Hasan, hutan di sekitar pantai selatan, tepatnya di sepanjang Meru Betiri dan Alas Purwo sangat dipercaya masyarakat Banyuwangi sebagai tempat yang banyak menyimpan kekuatan mistis.
Cerita si penjual bakso tentang keberadaan sarang burung walet di sekitar gunung, ternyata bukan hanya monopoli masyarakat awam di sana. Hasnan pun mengatakan, bahwa di sana terdapat banyak sarang burung walet, tetapi dalam dimensi mistis.
Jika seseorang menemukan sarang walet tersebut pada saat tertentu, maka ia harus memanennya saat itu juga. Namun bila ia menunggu untuk memanennya di hari berikutnya, bisa dipastikan sarang tersebut telah lenyap seperti ditelan bumi.
Hal ini bukan terjadi lantaran ada orang terlebih dahulu memanen sarang tersebut. Sarang walet yang ditemukan, syaratnya memang harus dipanen saat itu juga. Cerita ini sangat dipercaya dan dipahami banyak penduduk di sana.
Begitu pula dengan keberadaan harta karun berupa koin emas yang ditemukan dalam jumlah besar, menurut Hasnan, koin emas tersebut merupakan sesaji persembahan masyarakat tempo dulu ketika melakukan upacara keagamaan.
“Akibat banyaknya sesaji itu, maka sekarang para kapitalis Jakarta termasuk Bupati Banyuwangi pun ikut-ikutan menganggap ada tambang emas padahal tidak ada sama sekali,” begitu lanjut Hasnan.
Jika pendapat si budayawan Banyuwangi saja seperti itu, yakni yakin tentang tidak adanya potensi tambang batuan emas di sana, maka bisa dibayangkan bagaimana keyakinan masyarakat di sana terkait potensi kandungan emas di gunung tersebut.
Masyarakat di sana tentu lebih yakin lagi, bahwa tidak ada potensi tambang batuan emas di sana. Bagi mereka, emas yang ada di Gunung Tumpang Pitu hanyalah emas berbentuk harta karun.
Sehingga untuk mendapatkan emas tersebut hanya diperlukan “laku batin” bagi mereka yang menginginkannya. Masyarakat awam di sana tentu tidak ada yang menyangkalnya, apalagi cerita itu telah ratusan turun temurun ke generasi berikutnya.
Benar saja, ketika tim menyempatkan diri berbincang-bincang dengan seorang pria paruh baya setelah pendakian Gunung Tumpang Pitu, lelaki itu menceritakan tentang adanya petilasan keramat dan gua di ketinggian gunung tersebut.
Menurut pria sederhana tersebut, goa tersebut merupakan tempat orang dahulu meletakkan sesaji berbentuk koin emas. Harta karun berbentuk koin emas inilah yang banyak diburu masyarakat di sana.
Sayangnya, pernyataan si budayawan ternyata berbeda dengan kondisi sesungguhnya di lapangan. Hasil investigasi menunjukkan, bahwa di Gunung Tumpang Pitu memang sedang ada akitvitas penambangan batuan emas.
Di wilayah penambangan tersebut, terdapat sekitar seratus pekerja, beberapa di antaranya terlihat orang kulit putih, konon mereka berasal dari Belanda dan Australia. Mereka dengan sebuah bendera perusahaan pertambangan tampak aktif mengebor batuan dari perut bumi di gunung tersebut.
Tampaknya masyarakat sekitar gunung dan Pantai Pulau Merah kecolongan. Emas yang menurut mereka hanya bisa didapatkan dengan upaya spiritual, ternyata justru bisa didapatkan lewat upaya rasional berbentuk pertambangan batuan emas.
Ya, perut bumi di Gunung Tumpang Pitu ternyata menyimpan kandungan batuan emas dengan potensi menggiurkan. Kini, sebuah perusahaan penambangan besar akan menikmati kilauan emas sesungguhnya. Lalu bagaimana nasib masyarakat di sana?
0 komentar :
Post a Comment