♠ Posted by
Unknown
in
Budaya
at
11:18:00 AM
Jika makam-makam bersejarah tersebut dikelola dengan baik akan memberikan mamfaat baik secara batin (spiritual) maupun secara zahir (ekonomi).
Hal-hal teknis untuk mengelolah makam tersebut seperti perawatan makam, dirikan suatu bangunan yang unik atau mihrab di atasnya seperti makam-makam parawali lainnya. Disamping itu, tentu harus memberikan penerangan akan sejarah setiap tokohnya.
Pemberian catatan atau informasi tentang perjalanan hidup sang tokoh semasa hidupnya kepada para pengunjung. Selain itu, menyediakan tempat yang agak luas yang memungkinkan pengunjung bisa melakukan tirakat di sekitar makam tersebut.
Jika tempatnya indah bersih dan menarik serta ditunjang oleh pancaran sirr makam wali tersebut maka masyarakat umum, para pecinta spiritual dan ahli kebatinan akan berdatangan dari segala penjuru negeri.
Kubur Mas Bawang
Kubur Mas Bawang secara administratif terletak di Desa Teluk Dalam Kecamatan Sangkapura Pulau Bawean. Kubur tokoh ini berada di tengah pekuburan umum Desa Teluk Dalam yang terletak di sisi Utara lapangan sepak bola.
Kubur atau makam tokoh ini nampak menonjol ditengah pekuburan umum. Pemberian bangunan berupa cungkup beratap seng yang menaungi kubur tokoh Mas Bawang dan kubur pendamping lainnya merupakan pembeda dari makam kebanyakan. Cungkup kubur tersebut tidak memiliki dinding pada keempat sisinya.
Di bagian luar cungkup terdapat pagar batu berbahan batu kali. Batu kali itu tertata meninggi hingga satu meter. Uniknya, dinding itu tidak menggunakan semen sebagai perekatnya. Pagar batu tersebut berdenah empat persegi panjang dengan lebar 5 M, panjang 13 M dengan tinggi 1 M.
Yang juga menarik dari kompleks kubur Mas Bawang ini adalah ditemukannya batu-batu nisan berbentuk gada dan berbagai hiasan di sekitar kubur tokoh.
Makam Jirat
Makam tokoh ini menjadi satu dengan empat makam lainnya. Letaknya di dalam cungkup. Makam Jirat tersebut juga menggunakan bahan batu kali yang tidak dibentuk dan di tata meninggi tanpa perekat.
Areal di dalam jirat tersebut lebih tinggi di bandingkan lantai halaman di dalam kompleks pagar. Jirat tersebut berdenah empat persegi panjang dengan memiliki ukuran panjang 323 cm dan lebar 173 cm dengan tinggi dari halaman kubur 24 cm.
Makam Embhe Rambheje
Secara administratif berada di wilayah Dusun Suwaritimur, Desa Suwari, Kecamatan Sangkapura. Letak makam tokoh ini di halaman belakang Masjid Suwari Timur yang dikelilingi desa. Untuk menuju ke lokasi kubur ini dari jalan lingkar Bawean yang melalui Desa Suwari, masuk melalui jalan desa yang telah diperkeras dengan beton cor sejauh 30 meter melalui desa. Diujung jalan masuk kita akan sampai ke Masjid Suwari Timur.
Makam Embhe Rambheje dikelilingi kuburan masyarakat Dusun Suwari Timur. Namun pekuburan ini saat ini telah tidak dipergunakan lagi. Makam Embhe Rambheje akan terlihat mencolok ditengah kuburan lainnya. Fitur sebagai pembeda dengan makam lainnya adalah ada pagar batu yang melingkari kubur ini.
Berdasarkan cerita tutur yang berkembang di masyarakat Suwari, tokoh Embhe Rambheje adalah merupakan tokoh pembawa Agama Islam di desa tersebut. Melalui peran tokoh ini masyarakat Suwari akhirnya menjadi pemeluk Agama Islam. Sebagai tokoh yang mengajarkan syariat Islam, Embhe Rambheje juga mendirikan masjid Suwari Timur yang kini berada dalam satu kompleks dengan makam beliau.
Makam Kuna di Tambak
Makam atau Kubur kuna yang dimaksud di sini terletak ditepi jalan lingkar Bawean yang berhimpit dengan garis pantai. Secara administratif lokasi makam ini termasuk dalam wilayah administrasi Desa Pekalongan Kecamatan Tambak. Makam kuna ini berada di tengah pekuburan umum Dusun Tunjung Desa Pekalongan.
Saat ini makam kuna ini telah diberi bangunan cungkup dengan menggunakan kontruksi beton dengan atap asbes tanpa dinding yang merupakan bangunan baru. Jirat kuburnyapun telah ditinggikan dengan batako dengan lapisan semen.
Keberadaan kubur kuna ini di Bawean baru ramai di bicarakan orang sejak tahun 1995-an. Menurut keterangan masyarakat sekitar, pada awalnya masyarakat sekitar dan Bawean pada umumnya kurang memperhatikan keberadaan kuburan tersebut. Namun seiring dengan semakin banyaknya peziarah yang datang dari Jawa ke makam tersebut, maka mulai berkembanglah cerita tentang keberadaan kuburan tokoh tersebut.
Berdasarkan keterangan peziarah dari Jawa yang kami temui di lokasi kuburan ini, menyatakan bahwa kuburan tersebut merupakan kuburan tokoh Sunan Bonang, salah seorang dari wali songo yang ada di tanah Jawa.
Menurut peziarah tersebut Sunan Bonang meninggal dan dikuburkan dilokasi ini dalam upaya beliau menyiarkan Agama Islam. Namun setelah diketahui oleh para santri dan pengikutnya yang berada di Tuban, mereka bermaksud untuk memindahkan kuburan Sunan Bonang dari lokasi di Bawean ke Kota Tuban.
Dalam upaya tersebut santri dan pengikut dari Tuban, tidak sepenuh niatan mereka berhasil dilaksanakan, karena yang berhasil dipindahkan hanyalah kain kafannya saja. Sedangkan jasadnya tidak bisa dipindahkan dari Bawean. Namun sebagian peziarah dari Jawa yang datang ke Bawean menyebutkan bahwa kubur Sunan Bonang memang di Bawean. Namun kubur tersebut bukan yang berada di Kecamatan Tambak ini. Melainkan berada di Desa Pudakit Barat Kecamatan Sangkapura yang di Bawean dikenal dengan Jujuk Tampo.
Peninggalan arkeologi yang menarik disekitar kuburan di Bawean ini adalah ada 4 buah nisan bergaya bentuk gada dan 2 buah berbentuk pipih yang menggunakan bahan batu andesit. Meskipun kuburan tersebut hanya dikenal sebagai kuburan para santri tokoh utama di kompleks ini, gaya bentuk nisannya merupakan peninggalan arkeologi yang cukup langkah khususnya wilayah Bawean yang masih wilayah Kabupaten Gresik itu.
Kubur KH Fahruddin
Kubur tokoh ini di pekuburan umum Dusun Pakalongan Temor Desa Pakalongan Kecamatan Tambak. Kubur ini tidak memiliki bangunan cungkup.
Tidak seperti umumnya kuburan Islam, pada kubur tokoh ini tidak ditemukan unsur nisan yang biasanya didirikan dalam struktur jirat yang mengelilinginya. Pada kubur ini hanya ditemukan struktur jirat yang menggunakan bahan fosil karang.
Pada bagian kepala dan kaki kuburan, bentukan jiratnya meninggi dengan pola bangun setengah lingkaran menyerupai gunungan
Makam KH Khatib
Makam KH Khatib berada di tengah pekuburan umum Desa Pakalongan Kecamatan Tambak. Makam ini tidak memiliki bangunan cungkup dan terkesan tidak berbeda dengan kuburan umumnya yang ada ditempat tersebut. Jirat dan nisan kuburnya telah direhab oleh pihak keluarga yang kini dilapisi dengan keramik modern.
Berdasarkan cerita tutur yang ada di masyarakat Bawean, tokoh ini merupakan orang pertama yang membawa dan mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama 'di Pulau Bawean.
Beberapa kalangan dari pemimpin wilayah NU Jawa Timur menyatakan bahwa KH Khatib merupakan salah seorang kyai yang masa hidupnya sejaman dengan KH Hasyim Asy'ari Tebuireng Jombang. Bersama Hasyim Asy’ari, beliau aktif sebagai salah seorang perintis pendiri Nahdlatul Ulama '.
Makam Waliyah Zainab
Makam ini terletak di Desa Diponggo Kecamatan Tambak Pulau Bawean, di kaki bukit yang jaraknya dari pantai sekitar 350 M. Kubur ini di halaman belakang masjid Desa Diponggo yang konon katanya masjid ini didirikan oleh Waliyah Zainab.
Cungkup kubur ini telah direhab oleh masyarakat setempat yang saat ini berdinding tembok dengan kontruksi beton cor beratap genteng. Jirat kubur sebagai unsur yang masih merupakan peninggalan arkeologi, menggunakan bahan batu kapur Gresik yang dibentuk persegi empat.
Jirat kubur ini bentuknya mengesankan adanya kesamaan dengan beberapa jirat kubur yang ada di Gresik meskipun dalam bentuk dan ornamen yang jauh lebih sederhana.
Tokoh Waliyah Zainab menurut cerita yang berkembang di Bawean adalah merupakan istri kedua dari Sunan Giri yang bernama Dewi Wardah. Dewi Wardah merupakan putri Sunan Bungkul di Surabaya yang diperistri berkat penemuan buah delima oleh Sunan Giri dalam sebuah sayembara.
Namun Dewi Wardah merasa kurang bahagia menjadi istri kedua dari Sunan Giri, sehingga ia memilih untuk menetap di Bawean sebagai kader penyiar Agama Islam.
Kubur Jujuk Tampo
Kubur ini terletak di Dusun Tampo Desa Pudakit Barat Kecamatan Sangkapura Pulau Bawean Kabupaten Gresik. Kubur tokoh yang bernama Jujuk Tampo ini berada diatas sebuah struktur batu alam yang ditata sedemikian rupa berbentuk meninggi dengan 3 buah teras undakan. Pada setiap inti undakan memiliki bidang datar yang cukup luas, di teras ketiga teratas ditemukan dua buah kuburan dengan dua pasang nisan yang salah satunya dikenal dengan kubur Jujuk Tampo.
Hingga saat ini tidak ditemukan data yang bisa menerangkan tentang identitas sang tokoh yang dikubur ditempat tersebut secara valid. Keterangan warga setempat hanya menceritakan tentang kejadian proses meninggalnya sang tokoh Jujuk Tampo. Meninggalnya tokoh Jujuk Tampo adalah akibat dibunuh oleh orang dari Desa Patar Selamat yang menuduh Jujuk Tampo sebagai pencuri sapi milik warga Patar Selamat yang hilang. Karena tuduhan tersebut tidak terbukti kebenarannya, seluruh warga Patar Selamat dikutuk agar tidak berziarah ke kuburan beliau. Bila ada warga Patar Selamat yang melanggar sumpah tersebut, maka di Bawean akan terjadi hujan deras dalam beberapa hari.
Tidak adanya data arkeologi dan sejarah yang bisa menjelaskan tokoh yang dikubur dengan julukan Jujuk Tampo tersebut telah pula melahirkan cerita baru yang menghubungkan Jujuk Tampo dengan Laksamana Ceng Hoo? Saya sendiri tidak menemukan data tentang hubungan diantara keduanya setelah saya baca buku yang baru terbit di tahun 2008 ini. Bukankah intuisi tidak termasuk dalam metodologi ilmu.
Makam Mbhe Ghuste
Makam Mbeh Ghuste berada di punggung bukit yang termasuk dalam wilayah Desa Komalasa Kecamatan Sangkapura. Kubur tersebut merupakan kuburan tunggal yang disekelilingnya berupa semak belukar. Untuk menuju lokasi kuburan tokoh ini dari jalan Desa Komalasa yang telah bisa dilalui kendaraan bermotor, kita masih harus berjalan kaki melalui jalan setapak yang terjal berbatu ditengah semak belukar yang tinggi.
Makam Mbeh Ghuste tidak memiliki bangunan cungkup. Sebagai penanda keberadaan kuburan ini. Berdasarkan cerita tutur yang berkembang di masyarakat Desa Komalasa, Mbeh Ghuste dikenal sebagai salah seorang kader Agama Islam yang awal di Desa Komalasa Pulau Bawean. Selain itu tokoh ini dikenal sebagai seorang tabib yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengobati penyakit. Konon lebih dari 41 macam penyakit yang bisa diobati oleh tokoh ini. Namun keterangan lebih jauh tentang asal dan masa hidup tokoh tersebut tidak ditemukan dalam cerita tutur maupun data sejarah.
Makam Mbhe Rato
Kubur ini berada di pekuburan umum Desa Dheun yang terlentak di tepi jalan lingkar Pulau Bawean. Keletakan tersebut menjadikan kuburan ini sangat mudah untuk di kunjungi. Secara administratif kubur ini termasuk dalam wilayah Dusun Dheuneler, Desa Dheun Kecamatan Sangkapura.
Berdasarkan cerota tutur yang berkembang di masyarakat Dheun, disebutkan bahwa tokoh Mbhe Rato saat hidupnya merupakan pemimpin atau penguasa lokal yang sekarang seperti kepala desa di wilayah Dheun.
Makam Jujuk Neisela
Makam Jujuk Neisela ini berada di lokasi yang hingga kini masih sangat sulit untuk didatangi. Keletakan kubur ini yang berada di punggung gunung dengan akses jalan yang hanya berupa jalan setapak pencari rumput yang sangat jarang di lalui, menyebabkan kesulitan untuk menenukan lokasi kubur ditengah rimbun semak-semak. Secara administratif kubur ini termasuk dalam wilayah Dusun Bhelibhekeler, Desa Balikterus Kecamatan Sangkapura, yang keletakan desanya berada dibagian tengah Pulau Bawean yang berbukit-bukit. Makam ini tanpa dilengkapi dengan bangunan cungkup.
Berdasarkan cerita tutur yang berkembang di masyarakat Bawean, khususnya di Desa Balikterus, menyebutkan bahwa tokoh Jujuk Neisela merupakan salah seorang khadam atau pembatu Waliyah Zainab atawa Dewi Wardah yang meninggal dalam perjalanan pengungsi sebelum akhirnya Waliyah Zainab menetap di Desa Diponggo.
Makam Purbonegoro
Letak makam Purbonegoro berada di kaki bukit Malokok yang termasuk dalam wilayah Desa Gunungteguh Kecamatan Sangkapura. Lokasi kuburan Purbonegoro merupakan pekuburan umum untuk masyarakat sekitar lokasi dan lokasi penguburan bagi mereka yang masih memiliki hubungan darah atau keturunan Purbonegoro.
Untuk menuju kelokasi kuburan ini cukup mudah karena keletakannya yang masih berada dalam kawasan kota Kecamatan Sangkapura.
Halaman cungkup kubur Purbonegoro yang merupakan kaki bukit Malokok dibuat berundak lima. Setiap undakan diberi dinding talud yang menggunakan batu koral yang dibentuk persegi empat panjang tanpa diberi perekat. Empat dinding talud terbawa, saat ini hampir seluruh bagiannya sudah tertimbun tanah. Sedangkan dinding talud teratas yang sekaligus terhubung dengan pagar, hingga kini masih dapat teramati walaupun pada banyak bagiannya telah runtuh.
Kondisi bangunan cungkup tersebut dalam kondisi rusak berat. Didalam bangunan cungkup pertama tersebut terdapat 2 buah bangunan cungkup kedua dan 7 buah kuburan. Cungkup kedua yang berada didepan pintu masuk cungkup pertama merupakan cungkup kedua kubur Purbonegoro. Kedua cungkup kubur tersebut menggunakan bahan kontruksi kayu yang meskipun kini dalam kondisi rusak berat dan fragmentaris, namun masih menampakkan kemegahan bentuk dan hiasannya.
Begitupula dengan jirat dan nisan kubur yang lainnya, juga menggunakan bahan kayu dengan pola hias yang kompleks yang kini dalam kondisi rusak berat. jirat kubur Purbonegoro menggunakan bahan kayu dengan pola hias suluran bunga teratai yang memenuhi hampir seluruh bidang badan jirat yang berundak dua.
Nisan ini memiliki hiasan antefik pada keempat sudut pinggangnya. Sisi pinggir nisan diberi hiasan suluran tumbuhan yang mengelilingi bingkai persegi lima. Di dalam bingkai segi lima sisi dalam nisan terdapat kaligrafi yang menyebutkan wafatnya Panembahan Adi pada hari senin, Tanggal 11 Jumadil Akhir Tahun Alif. Sedangkan pada sisi luar nisan di dalam bingkai segi lima diberi hiasan suluran tumbuhan yang memenuhi bidang. Nisan ini memiliki ukuran lebar 23 cm, tebal 17 cm, tinggi 47 cm dengan jarak antar nisan sejauh 122 cm.
Berdasarkan data lisan dan sejarah yang ada di Bawean, Purbonegoro merupakan keturunan Umar Mas'ud yang menjadi penguasa ke-enam dengan gelar pangeran yang pemerintahannya berlangsung antara tahun 1720-1747 M. Data sejarah dan lisan tersebut berbeda dengan inskripsi yang tertulis di nisan.
Makam Syech Maulana Umar Mas'ud
Tokoh Umar Mas'ud yang dalam tradisi lisan dan tulis masyarakat Bawean dikenal sebagai penyebar Agama Islam di Bawean, terletak di dalam kompleks Masjid Jamik Sangkapura yang konon masjid tersebut didirikan oleh Umar Mas'ud. Secara administratif kubur ini termasuk kedalam wilayah Desa Kotakusuma Kecamatan Sangkapura yang menempati lokasi di sisi Barat Alon-alon kota Kecamatan Sangkapura.
Kubur Umar Mas'ud berada di sisi belakang kompleks Masjid Jamik dengan pagar pembatas yang menyatu dengan pagar masjid. Sebuah cungkup yang telah direnovasi dan kini cungkup tersebut berdinding tembok semen baru menaungi dua buah kuburan, yakni kubur Umar Mas'ud beserta istrinya.
Nisan kuburan yang kini terpasang pada jirat merupakan nisan baru yang menggunakan bahan kayu jati. Sedangkan dua pasang nisan asli dari dua buah kuburan tokoh ini masih tersimpan di dalam bangunan cungkup dalam kondisi utuh dan baik.
Tokoh Umar Mas'ud dalam sejarah Paulau Bawean dikenal sebagai tokoh penyiar agama Islam yang datang ke Bawean dan mengalahkan penguasa Bawean dikala itu yang bergelar Raja Babi sebagai raja Kerajaan Lubek dalam sebuah duel. Setelah berhasil mengalahkan Raja Babi yang seketika itu meninggal dunia, Umar Mas'ud mengangkat dirinya sebagai penguasa Pulau Bawean dan memindahkan pusat kekuasaan dan pemerintahannya dari Panagih di Desa Lebak ke Bengko Dhelem yang kini berada di Dusun Dejebheta Desa Sawahmulya.
Dimasa pemerintahannya ini Umar Mas'ud mendirikan Kota Sangkapura dengan konsepsi kota Islam Jawa yang diadaptasi dengan kondisi geografis setempat. Bentuk adaptasi konsepsi tata kota Islam Jawa tersebut nampak dari penempatan keraton pusat pemerintahan yang di Bawean dikenal dengan Bengko Dhelem di sisi Utara Alon-alon dan pasar di sisi Selatan Alon-alon. Sedangkan masjid Jamik tetap berada di sisi Barat dari Alon-alon.
Pemerintahan Umar Mas'ud di gantikan oleh anak keturunannya pada saat beliau wafat pada tahun 1630M yang kehilangan kedaulatannya sehubungan dengan naiknya kembali kekuatan pemerintah di tanah Jawa pasca Majapahit.
Makam Cokrokusumo
Menurut wilayahnya, makam Cokrokusumo masuk dalam Desa Sungaiteluk Kecamatan Sangkapura Pulau Bawean. Lokasi makam ini berada ditepi persimpangan jalan kecamatan yang telah beraspal, sehingga kuburan ini cukup mudah untuk di kunjungi. Kubur Cokrokusumo yang bagi masyarakat Sangkapura juga dikenal dengan nama Congkop Naghesare, dikelilingi oleh kompleks pekuburan besar yang terpisahkan oleh jalan kecamatan yang melintas ditengahnya.
Di dalam bangunan cungkup kubur ini terdapat beberapa kuburan tua. Tiga buah kuburan dari tokoh utama yang ada di dalam cungkup kubur ini diberi bangunan cungkup kedua. Cungkup kubur Cokrokusumo berada di bagian tengah yang diapit oleh dua cungkup lainnya.
Kaligrafi yang tertulis pada bagian sisi dalam nisan, memiliki isi yang berbeda antara nisan kepala dan nisan kaki. Kaligrafi pada nisan kepala berisi wafatnya Kanjeng Rahadian Tumenggung Purba Negara pada tanggal 29 Ramadhan 1235. Sedangkan pada nisan kaki menyebutkan wafatnya Kanjeng Rahadian Tumenggung Panji Cokrokusumo pada tanggal 29 Ramadhan 1285 Hijriyah.
Berdasarkan data sejarah yang ada di Pulau Bawean, tokoh Cokrokusumo merupakan keturunan Umar Mas'ud yang kemudian bertahta pada Bawean pada Tahun 1747 sampai 1789 M. ia kemudian menjadi penguasa ke lima sejak Pulau Bawean direbut oleh Umar Mas'ud yang sekaligus menjadi penyiar Agama Islam di Pulau Bawean setelah mengambil alih kekuasaan dari raja animism.
2 komentar :
trims atas artikelnya ini, perlu diungkap lebih dalam lagi peranan beliau beliau ini dalam penyebaran islam nusantara
admin www.beritabawean.com
Maaf sy masih bingung dgn kisah waliyah zainab yg mana yg benar. Ada satu kisah tentang waliyah zainab yg pernah dimuat di media republika;
Ada seorang wali perempuan yang menyebarkan Islam di Bawean bagian utara, yaitu Wali yah Zainab (1580 Masehi). Dia merupakan cucu dari Sunan Sendang Dhuwur Paciran Lamongan yang menikah dengan cucu Sunan Giri yang bernama Pangeran Sedo Laut.
Waliyah Zainab awalnya datang ke Pulau Bawean bersama suami dan kerabatnya. Namun, sayangnya, suami dan kerabatnya meninggal dunia di tengah laut setelah perahunya tenggelam. Dari musibah itu yang selamat hanya dua orang, yaitu Waliyah Zainab dan seorang pembantunya yang bernama Mbah Rumbut.
Mhn konfirmasinya mana sejarah yg benar?
Post a Comment