♠ Posted by
Unknown
in
Budaya
at
6:58:00 AM
Sejak tahun 1994 hingga 2012 telah ditemukan 200 lebih berbagai macam benda prasejarah dan bersejarah di wilayah Papua.
Provinsi Papua dan Papua Barat ternyata kaya akan situs sejarah perjalanan pekembangan peradaban bangsa Indonesia. Dengan potensi arkeologi yang demikian besar, Balai Arkeologi Jayapura membagi wilayah kerjanya menjadi enam wilayah.
Sejak sepuluh tahun terakhir ini, kegiatan penelitian dan pengembangan Balai Arkeologi Jayapura telah menemukan 89 situs yang sangat berharga, baik dari segi pendidikan dan budaya maupun wisata sejarah.
Situs Pra-Sejarah
Menurut Kepala Badan Arkeologi Jayapura, M. Irfan Mahmud, di Jayapura, Rabu, situs purbakala tertua yang ditemukan di Papua adalah peninggalan jaman pra sejarah pada 30.000 hingga 40.000 tahun sebelum masehi. Situs yang berlokasi di Kabupaten Biak ini berupa gua-gua yang pada dindingnya dijumpai lukisan-lukisan dan fosil-fosil moluska atau cangkang kerang. Keduanya menandakan adanya kehidupan manusia pada masa lampau.
Lukisan purbakala di goa Papua
Ditemukannya fosil moluska di daerah itu juga menjadi indikator penting adanya aktivitas manusia purbakala.
Moluska adalah makanan yang mudah didapat dan diolah dibandingkan dengan harus berburu binatang darat yang butuh mengeluarkan banyak energi.
Lebih lanjut dia mengatakan, penemuan arkeologi di Biak ini merupakan jalan untuk mengurut sejarah migrasi perjalanan manusia kuno ke Papua.
“Hal ini membuktikan adanya kontak-kontak awal manusia sebelum kolonial masuk ke Papua,” tandasnya. Selain di Biak, penemuan dari jaman megalitikum terdapat di situs Tutari, Kabupaten Jayapura. Di tempat ini ditemukan bongkahan batu berlukis berbentuk binatang-binatang melata.
Situs Zaman Kolonial
Sementara situs arkeologi dari zaman kolonial juga banyak ditemukan di beberapa daerah di Papua sebagai peninggalan penjajah Belanda antara tahun 1900-an hingga pecah Perang Pasifik di tahun 1940-an. Situs zaman kolonial ini misalnya Situs Ifar Gunung, Situs Asei Pulau dan Situs Hirekombe di Kabupaten Jayapura,
Situs lainnya adalah adalah yang berkaitan dengan sejarah masuknya agama Islam ke Papua. Dibuktikan dengan ditemukannya Situs Makam Islam di Lapintal, Kabupaten Raja Ampat, Situs Islam di Pulau Nusmawan, Kabupaten Teluk Bintuni dan lain sebagainya.
Sejak 1994-2012 telah ditemukan 200 Benda Arkeologi
Kepala Balai Arkeologi Jayapura wilayah Papua dan Papua Barat, M Irvan Mahmud, M,Si mengatakan sejak 1994 hingga 2012 pihaknya telah menemukan 200 lebih berbagai macam benda prasejarah dan bersejarah di wilayah itu.
“Balai Arkeologi Jayapura telah menemukan 200 lebih benda-benda prasejarah dan bersejarah di berbagai daerah di Papua dan Papua Barat,” kata M Irvan ketika ditemuai ANTARA Jayapura di ruang kerjanya, Kamis.
Dikatakanya, Balai Arkeologi Jayapura yang berdiri sejak 1992 dan memiliki 20-an pegawai sudah puluhan kali melakukan penelitian, ekskavasi (penggalian) dan explorasi benda-benda prasejarah dan bersejarah di berbagai kampung/kelurahan/desa, distrik (kecamatan) disejumlah kabupaten/kota yang ada di Papua dan Papua Barat.
“Kami telah puluhan kali melakukan penelitian, penggalian, explorasi, seminar dan lain-lain terkait benda-benda prasejarah dan bersejarah di tanah Papua,” katanya.
Terkait benda-benda prasejarah dan bersejarah, M Irvan katakan, belum ada penelitian/penemuan yang monumental ataupun menggemaparkan dunia tetapi penelitian/penemuan benda-benda unik dan berciri khas Papua dengan pengaruh budaya Austronesia dan Asia termasuk masa kolonial paling banyak ditemukan.
Seperti penelitian potensi arkeologi di kampung Skow Yambe distrik Muara Tami Kota Jayapura pada 1994 di lokasi situs Gua Tei dimana pihaknya menemukan fragmen gerabah polos dan gerabah dengan motif hias. Penelitian religi masa lampau etnik di kabupaten Biak bertempat di desa Urfu dan desa Makmakerbo pada 2006 yang dilakukan di situs gua Padwa, gua Kufrai, dan situ gua Yembuken.
Kemudian penelitian prasejarah di beberapa kampung pesisir kawasan danau Sentani pada 2010 dan 2011 yang menemukan sejumlah fragmen gerabah hias, gerabah polos, manik-manik, molusca, arang, tulang binatang, tulang manusia, calon alat batu yang menandakan dan berpotensial mengungkapkan peradaban manusia disekitar itu.
Lalu pada 2012, Balai Arkelogi Jayapura sudah melakukan penelitian di delapan daerah dan menemukan 25 macam benda prasejarah dan bersejarah.
“Banyak penemuan benda-benda prasejarah dan bersejarah lewat penelitian, ekskavasi dan explorasi yang kami lakukan. Dan kalau boleh dikatakan bahwa di Papua masih banyak benda-benda unik yang harus diteliti secara baik,” katanya.
“Berbagai macam benda seperti kapak batu, tulang binatang, gerabah, lukisan dinding di gua dan penemuan benda lainya semasa kolonial bisa menceritakan dan mencerminkan budaya manusia di Papua saat itu,” lanjutnya.
Pria asal Makasar yang telah empat tahun bertugas di Papua itu sampaikan, saat ini data-data tentang Arkeologi di Papua baru mencapai 70 persen, dan pada 2013/2014 pihaknya akan meningkatkan hingga 80 persen.
“Kami masih akan melakukan banyak penelitian tetapi terkendala dengan masalah kondisi geografis dan topografis Papua. Dan tahun depan kami akan lakukan penelitian di Dogiyai, Mamberamo, Jayawijaya, Paniai dan sejumlah daerah lainya di Papua Barat,” katanya.
Arkeolog temukan situs kampung tua Mosandurei di Nabire Papua
Nabire Papua.
Arkeolog di Distrik Napan, Kabupaten Nabire, Provinsi Papua, menemukan situs kampung tua Mosandurei, yang merupakan situs permukiman. Situs tersebut kini sedang diteliti lebih lanjut.
“Situs Kampung Tua Mosandurei itu ditemukan dalam proses penelitian arkeologi,” kata sraf peneliti dari Balai Arkeologi Jayapura Hari Suroto, di Kota Jayapura, Papua pada April 2014 lalu.
Suroto mengatakan, dalam situs tersebut ditemukan alat batu, manik-manik, keramik China Dinasti Ming (abad XVI-XVII) dan Dinasti Ching (abad XVII-XVIII), keramik Eropa, botol Eropa dan gerabah.
Keramik Eropa yang ditemukan terdapat cap pabrik pembuatnya yaitu Fregout & Co Saastrusht Dragon Made in Holland danPetrus Regout & Co Maastricht made in Holland. Selain itu, lanjut Suroto, di situs itu juga ditemukan sisa makanan berupa cangkang moluska laut dalam jumlah banyak dan tulang binatang.
“Situs Kampung Tua Mosandurei pada masa lalu dipilih sebagai situs pemukiman karena lokasinya yang dekat dengan sumber air tawar, selain iyu juga dekat dengan hutan sagu dan pesisir pantai. Letak situs di atas bukit, sangat aman dan terlindungi dari serangan bajak laut yang banyak beroperasi di Teluk Cenderawasih pada abad ke-16 hingga abad ke-18,” lanjutnya.
Alumnus Universitas Udayana Bali itu menambahkan, berdasarkan lokasi yang strategis Situs Kampung Tua Mosandurei di pesisir utara Papua wilayah Napan pada masa lalu merupakan bagian dari jaringan niaga dengan Kesultanan Tidore.
Archaeologists working at the Mosandurei site in West Papua. (Source: Tempo)
Plato Gamping Ayamaru, Papua dan Hunian Prasejarah
Tulisan kali ini berasal dari Awang H Satyana, yang menjelaskan bahwa bekas-bekas hunian manusia prasejarah (purba) yang punya industri perkakas batu ditemukan di banyak tempat di Jawa, terutama di Pegunungan Sewu, Pacitan. Begitu banyaknya artefak berupa perkakas batu pernah ditemukan di sini, sehingga menghasilkan istilah-istilah tertentu seperti kebudayaan Pacitanian atau industri Kali Baksoko. Kali Baksoko adalah sebuah kali di wilayah ini tempat ditemukannya banyak artefak.
Itu di Jawa, tempat paling banyak ditemukannya artefak perkakas batu. Kelihatannya saat bermigrasi dulu, para penghuni pertama negeri kita memilih Jawa sebagai pangkalan terakhirnya. Pemikiran ini disebabkan begitu banyaknya artefak ditemukan di Jawa, juga penemuan fosil-fosil tulang hominid atau manusia purba. Meskipun demikian, terdapat bukti bahwa beberapa generasi manusia purba ini kemudian dari Jawa bermigrasi ke timur ke Nusa Tenggara bahkan sampai Australia.
Bagaimana dengan penemuan-penemuan arkeologi di pulau paling timur Indonesia: Papua?
Jarang sekali terdengar berita-berita tentang itu. Padahal, bila situs-situs hunian manusia purba banyak terdapat di topografi kars berupa gua-gua batu gamping, seperti di Gua Pawon, Padalarang dan banyak sekali situs-situs arkeologi di gua-gua di Pegunungan Sewu, Pacitan; maka Papua dari segi tutupan batuan batugampingnya adalah kawasan yang paling luas di Indonesia (publikasi Sukamto, 2000 tentang geologi regional Indonesia).
Mengapa jarang terdengar penemuan arkeologi di Papua?
Ada dua kemungkinan:
(1) manusia purba memang sedikit sekali bermigrasi ke Papua dan
(2) penelitian arkeologi jarang sekali dilakukan di Papua.
Saya yakin alasan nomor dualah yang paling mungkin sebagai penyebabnya. Mengapa ? Di Papua Nugini (Papua New Guinea, PNG)) dilaporkan penemuan beberapa situs hunian manusia purba, terutama di kawasan pantai utaranya. Ini artinya bahwa Papua (Indonesia) mestinya pernah dilewati manusia purba ini dalam migrasinya dan bisa saja sebagian dari mereka pernah menetap di gua-gua Papua yang banyak terdapat.
Penelitian-peneltian arkeologi untuk Papua, baik dilakukan oleh ahli-ahli nasional maupun dari mancanegara terbilang sangat sedikit bila dibandingkan penelitian-penelitian sejenis di area Indonesia Barat dan terutama Jawa. Misalnya, buku bagus, terbaru dan komprehensif tentang prasejarah Indonesia yang ditulis oleh ahli arkeologi terkenal Peter Bellwood (2000) -diterjemahkan oleh PT Gramedia, hanya sedikit membahas prasejarah Papua; memang Belwood mengkhsuskan dirinya meneliti arkeologi Asia Tenggara dan terutama wilayah Indo-Malaya.
Sebenarnya, aspek prasejarah Papua bisa sangat menarik sebab beberapa situs arkeologi telah ditemukan sampai ketinggian 4000 meter, yaitu di gua-gua gamping yang terdapat di Pegunungan Tengah Papua (Central Ranges of Papua) seperti dilaporkan oleh Hope dan Hope (1976 – Man on Mt. Jaya, AA Balkema-Rotterdam).
Tahun 1971-1973, Ekspedisi Australia-Indonesia untuk Gletsyer Carstenz di ketinggian 4000 meter pada tempat bernama Mapala Rockshelter menemukan tulang-tulang, artefak batu, abu dan cangkang-cangkang kerang. Saat ditera, artefak tersebut menghasilkan umur 5440 tahun yang lalu (tyl). Hope dan Hope (1976) berdasarkan analisis palinologi di Ijomba Bog, masih di kawasan Pegunungan Tengah, juga menyimpulkan bahwa pada 10.500 tyl, ada manusia purba di kawasan ini yang membuka hutan dengan membakarnya. Pembukaan hutan yang lebih tua dengan cara membakarnya juga ditemukan di Lembah Baliem yang sisa-sisanya menunjukkan umur 32.000 tyl (Haberle et al., 1991 – Biomass burning in Indonesia and PNG -fossil record, jurnal Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology 171).
Situs arkeologi tertua di pulau Papua (termasuk PNG) masih dipegang oleh sebuah gua di pantai utara PNG di Semenanjung Huon dengan artefak-artefak yang ditemukannya berumur 40.000 tyl (Groube et al. 1986 -40,000 year human occupation site-PNG, Nature 324).
Sekarang kita lihat kawasan Papua paling barat yang sering disebut sebagai “Kepala Burung”. Penelitian terbaru dari ahli arkeologi Juliette Pasveer, menemukan hunian manusia purba berumur Plistosen-awal Holosen di kawasan kars batugamping Kais di Ayamaru. (2004 -The Djief hunters : 26,000 years of rainforest exploitation on the Bird’s Head of Papua, Modern Quaternary Research in SE Asia 17)
Kawasan topografi kars Ayamaru terbentuk sejak Pliosen setelah Sesar Sorong secara aktif mulai memengaruhi Cekungan Salawati pada Mio-Pliosen. Sesar besar ini telah menjungkir-balikkan Cekungan Salawati sedemikian rupa sehingga deposenter cekungan ini pindah dari sebelumnya di sebelah selatan menjadi di sebelah utara sampai barat(Satyana, 2001, Dynamic Response of the Salawati Basin, Eastern Indonesia to the Sorong Fault Tectonism : Example of Inter-Plate Deformation : Proceedings PIT IAGI ke- 30, p. 288-291).
Akibat pembalikan ini, maka secara isostatik bagian selatan (Misool) dan bagian timur (Ayamaru) cekungan terangkat, menyingkapkan batugamping Kais. Lalu kemudian, singkapan batugamping Kais di Misool dan Ayamaru mengalami pelapukan dan erosi menghasilkan kawasan topografi kars seperti terlihat sekarang. Pada Plistosen Atas manusia purba mulai bermigrasi ke Papua melalui dua jalan, dari sebelah barat (Halmahera) (Belwood et al., 1998) atau dari sebelah selatan (Australia dan Aru)(Pasveer, 2007).
Plato Ayamaru, yang membentuk topografi kars (foto udaranya bisa dicek di google), terletak di bagian tengah Kepala Burung. Plato ini terangkat sampai saat ini ketinggiannya sekitar 350 meter di atas muka laut. Di dalam Plato Ayamaru terdapat tiga buah danau dangkal yang saling berhubungan. Satu danau terbentuk pada mid-Holosen, dua yang lain lebih tua lagi. Saat ini, penyebaran penduduk Ayamaru terkonsentrasi di sekitar ketiga danau ini.
Situs arkeologi di Plato Ayamaru ditemukan di dua gua yang berkembang tak jauh dari ketiga danau itu. Kedua gua itu adalah Gua Kria dan Gua Toe yang terpisah sejauh 12 km.
Gua Kria mempunyai sedimen setebal dua meter dengan stratigrafi yang tak terganggu deformasi. Pasveer (2004) membagi sedimen ini menjadi lima satuan hunian (occupation unit). Setiap satuan sedimen mengandung artefak-artefak berupa perkakas terbuat dari tulang dan batu, sisa-sisa hewan (terutama walabi hutan, di samping cangkang-cangkang moluska).
Lapisan-lapisan itu dibedakan berdasarkan kuantitas artefak yang ditemukan. Umur lapisan-lapisan dari terbawah sampai teratas adalah sekitar 8000-1840 tyl. Di lapisan teratas sedikit ditemukan artefak dan sisa hewan, tetapi ditemukan bekas-bekas manusia yang dikubur. Tidak ada tanda-tanda bahwa penduduk Ayamaru masih menggunakan gua tersebut sebagai kuburan.
Papuan Warrior
Gua Toe, berisi sedimen setebal 140 cm yang oleh Pasveer (2004) dibagi menjadi dua satuan. Stratigrafi sedimen agak kompleks karena lantai gua miring dan terdapat bekas nendatan (slump) atau runtuhan.
Satuan sedimen bawah berumur paling tua 26.000 tyl (Plistosen) mengandung perkakas batu dan sisa hewan yang lebih memfosil dibandingkan satuan sedimen atas. Satuan sedimen atas yang umur paling mudanya sampai 3000 tyl mengangdung lebih banyak perkakas batu dan sisa-sisa hewan.
Berdasarkan studi paleontologi dan zoologi, hewan Plistosen penghuni Gua Toe mestinya sejenis hewan yang saat ini hidup di ketinggian 1000 meter. Lalu mengapa mereka ditemukan di ketinggian yang jauh lebih rendah seperti Ayamaru (+ 350 meter) ?
Unit berumur Plistosen di Gua Toe ternyata menceritakan beberapa kisah menarik tentang perubahan iklim setelah the Last Glacial Maximum. Periode Last Glacial Maximum ini terjadi sekitar 26.000 tyl. Selama periode ini temperatur menurun drastis. Hewan-hewan yang biasa hidup di ketinggian +1000 meter melakukan penyesuaian dengan cara menuruni lereng mencari tempat yang relatif lebih hangat, maka mereka turun sampai wilayah Ayamaru (+350 m).
Zone-zone vegetasi yang biasa ditemukan di kawasan lereng-puncak pun turun sampai kaki pegunungan. Temperatur menghangat kembali sekitar 12.000-10.000 tyl dan telah menyerupai kondisi sekarang.
Demikian sedikit kisah prasejarah manusia purba di Papua dan Kepala Burung yang jumlah penelitiannya masih sangat langka. Ditunjukkan pula bagaimana geologi dan paleo-klimatologi dapat membantu analisis kawasan hunian manusia prasejarah bersama spesies-spesies fauna dan flora yang sezaman.
Hanya dua gua di Plato Ayamaru yang baru diselidiki prasejarahnya, padahal begitu banyak gua yang terbentuk di plato kars gamping ini. Kita pun sama sekali belum melihat kars topografi batugamping Kais di Pulau Misool dan Semenanjung Onin yang pada Mio-Pliosen kedua wilayah ini sama-sama terangkat sebagai kompensasi isostatik saat bagian utara Cekungan Salawati makin tenggelam.
Masih banyak sekali yang tersembunyi yang belum diketahui orang tentang Papua. Papua adalah paradise untuk penelitian, seperti kata Edward O. Wilson, ahli biologi terkenal:
“Papua has lasted into the twenty-first century as largely a blank space on the map, and we will do well to treasure it for that.”
Sumber: indocropcircles.wordpress.com
Provinsi Papua dan Papua Barat ternyata kaya akan situs sejarah perjalanan pekembangan peradaban bangsa Indonesia. Dengan potensi arkeologi yang demikian besar, Balai Arkeologi Jayapura membagi wilayah kerjanya menjadi enam wilayah.
Keenam wilayah, yaitu:
1. Daerah Kepala Burung,
2. Teluk Cenderawasih,
3. Teluk Bintuni,
4. Pantai Selatan dan sekitarnya,
5. Pantai Utara dan sekitarnya,
6. Pegunungan Tengah.
1. Daerah Kepala Burung,
2. Teluk Cenderawasih,
3. Teluk Bintuni,
4. Pantai Selatan dan sekitarnya,
5. Pantai Utara dan sekitarnya,
6. Pegunungan Tengah.
Sejak sepuluh tahun terakhir ini, kegiatan penelitian dan pengembangan Balai Arkeologi Jayapura telah menemukan 89 situs yang sangat berharga, baik dari segi pendidikan dan budaya maupun wisata sejarah.
Situs Pra-Sejarah
Menurut Kepala Badan Arkeologi Jayapura, M. Irfan Mahmud, di Jayapura, Rabu, situs purbakala tertua yang ditemukan di Papua adalah peninggalan jaman pra sejarah pada 30.000 hingga 40.000 tahun sebelum masehi. Situs yang berlokasi di Kabupaten Biak ini berupa gua-gua yang pada dindingnya dijumpai lukisan-lukisan dan fosil-fosil moluska atau cangkang kerang. Keduanya menandakan adanya kehidupan manusia pada masa lampau.
Lukisan purbakala di goa Papua
Ditemukannya fosil moluska di daerah itu juga menjadi indikator penting adanya aktivitas manusia purbakala.
Moluska adalah makanan yang mudah didapat dan diolah dibandingkan dengan harus berburu binatang darat yang butuh mengeluarkan banyak energi.
Lebih lanjut dia mengatakan, penemuan arkeologi di Biak ini merupakan jalan untuk mengurut sejarah migrasi perjalanan manusia kuno ke Papua.
“Hal ini membuktikan adanya kontak-kontak awal manusia sebelum kolonial masuk ke Papua,” tandasnya. Selain di Biak, penemuan dari jaman megalitikum terdapat di situs Tutari, Kabupaten Jayapura. Di tempat ini ditemukan bongkahan batu berlukis berbentuk binatang-binatang melata.
Situs Zaman Kolonial
Sementara situs arkeologi dari zaman kolonial juga banyak ditemukan di beberapa daerah di Papua sebagai peninggalan penjajah Belanda antara tahun 1900-an hingga pecah Perang Pasifik di tahun 1940-an. Situs zaman kolonial ini misalnya Situs Ifar Gunung, Situs Asei Pulau dan Situs Hirekombe di Kabupaten Jayapura,
Situs lainnya adalah adalah yang berkaitan dengan sejarah masuknya agama Islam ke Papua. Dibuktikan dengan ditemukannya Situs Makam Islam di Lapintal, Kabupaten Raja Ampat, Situs Islam di Pulau Nusmawan, Kabupaten Teluk Bintuni dan lain sebagainya.
Sejak 1994-2012 telah ditemukan 200 Benda Arkeologi
Kepala Balai Arkeologi Jayapura wilayah Papua dan Papua Barat, M Irvan Mahmud, M,Si mengatakan sejak 1994 hingga 2012 pihaknya telah menemukan 200 lebih berbagai macam benda prasejarah dan bersejarah di wilayah itu.
“Balai Arkeologi Jayapura telah menemukan 200 lebih benda-benda prasejarah dan bersejarah di berbagai daerah di Papua dan Papua Barat,” kata M Irvan ketika ditemuai ANTARA Jayapura di ruang kerjanya, Kamis.
Dikatakanya, Balai Arkeologi Jayapura yang berdiri sejak 1992 dan memiliki 20-an pegawai sudah puluhan kali melakukan penelitian, ekskavasi (penggalian) dan explorasi benda-benda prasejarah dan bersejarah di berbagai kampung/kelurahan/desa, distrik (kecamatan) disejumlah kabupaten/kota yang ada di Papua dan Papua Barat.
“Kami telah puluhan kali melakukan penelitian, penggalian, explorasi, seminar dan lain-lain terkait benda-benda prasejarah dan bersejarah di tanah Papua,” katanya.
Terkait benda-benda prasejarah dan bersejarah, M Irvan katakan, belum ada penelitian/penemuan yang monumental ataupun menggemaparkan dunia tetapi penelitian/penemuan benda-benda unik dan berciri khas Papua dengan pengaruh budaya Austronesia dan Asia termasuk masa kolonial paling banyak ditemukan.
Seperti penelitian potensi arkeologi di kampung Skow Yambe distrik Muara Tami Kota Jayapura pada 1994 di lokasi situs Gua Tei dimana pihaknya menemukan fragmen gerabah polos dan gerabah dengan motif hias. Penelitian religi masa lampau etnik di kabupaten Biak bertempat di desa Urfu dan desa Makmakerbo pada 2006 yang dilakukan di situs gua Padwa, gua Kufrai, dan situ gua Yembuken.
Kemudian penelitian prasejarah di beberapa kampung pesisir kawasan danau Sentani pada 2010 dan 2011 yang menemukan sejumlah fragmen gerabah hias, gerabah polos, manik-manik, molusca, arang, tulang binatang, tulang manusia, calon alat batu yang menandakan dan berpotensial mengungkapkan peradaban manusia disekitar itu.
Lalu pada 2012, Balai Arkelogi Jayapura sudah melakukan penelitian di delapan daerah dan menemukan 25 macam benda prasejarah dan bersejarah.
“Banyak penemuan benda-benda prasejarah dan bersejarah lewat penelitian, ekskavasi dan explorasi yang kami lakukan. Dan kalau boleh dikatakan bahwa di Papua masih banyak benda-benda unik yang harus diteliti secara baik,” katanya.
“Berbagai macam benda seperti kapak batu, tulang binatang, gerabah, lukisan dinding di gua dan penemuan benda lainya semasa kolonial bisa menceritakan dan mencerminkan budaya manusia di Papua saat itu,” lanjutnya.
Pria asal Makasar yang telah empat tahun bertugas di Papua itu sampaikan, saat ini data-data tentang Arkeologi di Papua baru mencapai 70 persen, dan pada 2013/2014 pihaknya akan meningkatkan hingga 80 persen.
“Kami masih akan melakukan banyak penelitian tetapi terkendala dengan masalah kondisi geografis dan topografis Papua. Dan tahun depan kami akan lakukan penelitian di Dogiyai, Mamberamo, Jayawijaya, Paniai dan sejumlah daerah lainya di Papua Barat,” katanya.
Arkeolog temukan situs kampung tua Mosandurei di Nabire Papua
Nabire Papua.
Arkeolog di Distrik Napan, Kabupaten Nabire, Provinsi Papua, menemukan situs kampung tua Mosandurei, yang merupakan situs permukiman. Situs tersebut kini sedang diteliti lebih lanjut.
“Situs Kampung Tua Mosandurei itu ditemukan dalam proses penelitian arkeologi,” kata sraf peneliti dari Balai Arkeologi Jayapura Hari Suroto, di Kota Jayapura, Papua pada April 2014 lalu.
Suroto mengatakan, dalam situs tersebut ditemukan alat batu, manik-manik, keramik China Dinasti Ming (abad XVI-XVII) dan Dinasti Ching (abad XVII-XVIII), keramik Eropa, botol Eropa dan gerabah.
Keramik Eropa yang ditemukan terdapat cap pabrik pembuatnya yaitu Fregout & Co Saastrusht Dragon Made in Holland danPetrus Regout & Co Maastricht made in Holland. Selain itu, lanjut Suroto, di situs itu juga ditemukan sisa makanan berupa cangkang moluska laut dalam jumlah banyak dan tulang binatang.
“Situs Kampung Tua Mosandurei pada masa lalu dipilih sebagai situs pemukiman karena lokasinya yang dekat dengan sumber air tawar, selain iyu juga dekat dengan hutan sagu dan pesisir pantai. Letak situs di atas bukit, sangat aman dan terlindungi dari serangan bajak laut yang banyak beroperasi di Teluk Cenderawasih pada abad ke-16 hingga abad ke-18,” lanjutnya.
Alumnus Universitas Udayana Bali itu menambahkan, berdasarkan lokasi yang strategis Situs Kampung Tua Mosandurei di pesisir utara Papua wilayah Napan pada masa lalu merupakan bagian dari jaringan niaga dengan Kesultanan Tidore.
Archaeologists working at the Mosandurei site in West Papua. (Source: Tempo)
Plato Gamping Ayamaru, Papua dan Hunian Prasejarah
Tulisan kali ini berasal dari Awang H Satyana, yang menjelaskan bahwa bekas-bekas hunian manusia prasejarah (purba) yang punya industri perkakas batu ditemukan di banyak tempat di Jawa, terutama di Pegunungan Sewu, Pacitan. Begitu banyaknya artefak berupa perkakas batu pernah ditemukan di sini, sehingga menghasilkan istilah-istilah tertentu seperti kebudayaan Pacitanian atau industri Kali Baksoko. Kali Baksoko adalah sebuah kali di wilayah ini tempat ditemukannya banyak artefak.
Itu di Jawa, tempat paling banyak ditemukannya artefak perkakas batu. Kelihatannya saat bermigrasi dulu, para penghuni pertama negeri kita memilih Jawa sebagai pangkalan terakhirnya. Pemikiran ini disebabkan begitu banyaknya artefak ditemukan di Jawa, juga penemuan fosil-fosil tulang hominid atau manusia purba. Meskipun demikian, terdapat bukti bahwa beberapa generasi manusia purba ini kemudian dari Jawa bermigrasi ke timur ke Nusa Tenggara bahkan sampai Australia.
Bagaimana dengan penemuan-penemuan arkeologi di pulau paling timur Indonesia: Papua?
Jarang sekali terdengar berita-berita tentang itu. Padahal, bila situs-situs hunian manusia purba banyak terdapat di topografi kars berupa gua-gua batu gamping, seperti di Gua Pawon, Padalarang dan banyak sekali situs-situs arkeologi di gua-gua di Pegunungan Sewu, Pacitan; maka Papua dari segi tutupan batuan batugampingnya adalah kawasan yang paling luas di Indonesia (publikasi Sukamto, 2000 tentang geologi regional Indonesia).
Mengapa jarang terdengar penemuan arkeologi di Papua?
Ada dua kemungkinan:
(1) manusia purba memang sedikit sekali bermigrasi ke Papua dan
(2) penelitian arkeologi jarang sekali dilakukan di Papua.
Saya yakin alasan nomor dualah yang paling mungkin sebagai penyebabnya. Mengapa ? Di Papua Nugini (Papua New Guinea, PNG)) dilaporkan penemuan beberapa situs hunian manusia purba, terutama di kawasan pantai utaranya. Ini artinya bahwa Papua (Indonesia) mestinya pernah dilewati manusia purba ini dalam migrasinya dan bisa saja sebagian dari mereka pernah menetap di gua-gua Papua yang banyak terdapat.
Penelitian-peneltian arkeologi untuk Papua, baik dilakukan oleh ahli-ahli nasional maupun dari mancanegara terbilang sangat sedikit bila dibandingkan penelitian-penelitian sejenis di area Indonesia Barat dan terutama Jawa. Misalnya, buku bagus, terbaru dan komprehensif tentang prasejarah Indonesia yang ditulis oleh ahli arkeologi terkenal Peter Bellwood (2000) -diterjemahkan oleh PT Gramedia, hanya sedikit membahas prasejarah Papua; memang Belwood mengkhsuskan dirinya meneliti arkeologi Asia Tenggara dan terutama wilayah Indo-Malaya.
Lokasi-lokasi peninggalan Prasejarah Papua. Angka menunjukkan tahun peninggalan. prehistoric sites of Papua and their dates year before present. (Pasveer, 2004)Sebenarnya, aspek prasejarah Papua bisa sangat menarik sebab beberapa situs arkeologi telah ditemukan sampai ketinggian 4000 meter, yaitu di gua-gua gamping yang terdapat di Pegunungan Tengah Papua (Central Ranges of Papua) seperti dilaporkan oleh Hope dan Hope (1976 – Man on Mt. Jaya, AA Balkema-Rotterdam).
Tahun 1971-1973, Ekspedisi Australia-Indonesia untuk Gletsyer Carstenz di ketinggian 4000 meter pada tempat bernama Mapala Rockshelter menemukan tulang-tulang, artefak batu, abu dan cangkang-cangkang kerang. Saat ditera, artefak tersebut menghasilkan umur 5440 tahun yang lalu (tyl). Hope dan Hope (1976) berdasarkan analisis palinologi di Ijomba Bog, masih di kawasan Pegunungan Tengah, juga menyimpulkan bahwa pada 10.500 tyl, ada manusia purba di kawasan ini yang membuka hutan dengan membakarnya. Pembukaan hutan yang lebih tua dengan cara membakarnya juga ditemukan di Lembah Baliem yang sisa-sisanya menunjukkan umur 32.000 tyl (Haberle et al., 1991 – Biomass burning in Indonesia and PNG -fossil record, jurnal Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology 171).
Situs arkeologi tertua di pulau Papua (termasuk PNG) masih dipegang oleh sebuah gua di pantai utara PNG di Semenanjung Huon dengan artefak-artefak yang ditemukannya berumur 40.000 tyl (Groube et al. 1986 -40,000 year human occupation site-PNG, Nature 324).
Sekarang kita lihat kawasan Papua paling barat yang sering disebut sebagai “Kepala Burung”. Penelitian terbaru dari ahli arkeologi Juliette Pasveer, menemukan hunian manusia purba berumur Plistosen-awal Holosen di kawasan kars batugamping Kais di Ayamaru. (2004 -The Djief hunters : 26,000 years of rainforest exploitation on the Bird’s Head of Papua, Modern Quaternary Research in SE Asia 17)
Kawasan topografi kars Ayamaru terbentuk sejak Pliosen setelah Sesar Sorong secara aktif mulai memengaruhi Cekungan Salawati pada Mio-Pliosen. Sesar besar ini telah menjungkir-balikkan Cekungan Salawati sedemikian rupa sehingga deposenter cekungan ini pindah dari sebelumnya di sebelah selatan menjadi di sebelah utara sampai barat(Satyana, 2001, Dynamic Response of the Salawati Basin, Eastern Indonesia to the Sorong Fault Tectonism : Example of Inter-Plate Deformation : Proceedings PIT IAGI ke- 30, p. 288-291).
Akibat pembalikan ini, maka secara isostatik bagian selatan (Misool) dan bagian timur (Ayamaru) cekungan terangkat, menyingkapkan batugamping Kais. Lalu kemudian, singkapan batugamping Kais di Misool dan Ayamaru mengalami pelapukan dan erosi menghasilkan kawasan topografi kars seperti terlihat sekarang. Pada Plistosen Atas manusia purba mulai bermigrasi ke Papua melalui dua jalan, dari sebelah barat (Halmahera) (Belwood et al., 1998) atau dari sebelah selatan (Australia dan Aru)(Pasveer, 2007).
Plato Ayamaru, yang membentuk topografi kars (foto udaranya bisa dicek di google), terletak di bagian tengah Kepala Burung. Plato ini terangkat sampai saat ini ketinggiannya sekitar 350 meter di atas muka laut. Di dalam Plato Ayamaru terdapat tiga buah danau dangkal yang saling berhubungan. Satu danau terbentuk pada mid-Holosen, dua yang lain lebih tua lagi. Saat ini, penyebaran penduduk Ayamaru terkonsentrasi di sekitar ketiga danau ini.
Situs arkeologi di Plato Ayamaru ditemukan di dua gua yang berkembang tak jauh dari ketiga danau itu. Kedua gua itu adalah Gua Kria dan Gua Toe yang terpisah sejauh 12 km.
Gua Kria mempunyai sedimen setebal dua meter dengan stratigrafi yang tak terganggu deformasi. Pasveer (2004) membagi sedimen ini menjadi lima satuan hunian (occupation unit). Setiap satuan sedimen mengandung artefak-artefak berupa perkakas terbuat dari tulang dan batu, sisa-sisa hewan (terutama walabi hutan, di samping cangkang-cangkang moluska).
Lapisan-lapisan itu dibedakan berdasarkan kuantitas artefak yang ditemukan. Umur lapisan-lapisan dari terbawah sampai teratas adalah sekitar 8000-1840 tyl. Di lapisan teratas sedikit ditemukan artefak dan sisa hewan, tetapi ditemukan bekas-bekas manusia yang dikubur. Tidak ada tanda-tanda bahwa penduduk Ayamaru masih menggunakan gua tersebut sebagai kuburan.
Papuan Warrior
Gua Toe, berisi sedimen setebal 140 cm yang oleh Pasveer (2004) dibagi menjadi dua satuan. Stratigrafi sedimen agak kompleks karena lantai gua miring dan terdapat bekas nendatan (slump) atau runtuhan.
Satuan sedimen bawah berumur paling tua 26.000 tyl (Plistosen) mengandung perkakas batu dan sisa hewan yang lebih memfosil dibandingkan satuan sedimen atas. Satuan sedimen atas yang umur paling mudanya sampai 3000 tyl mengangdung lebih banyak perkakas batu dan sisa-sisa hewan.
Berdasarkan studi paleontologi dan zoologi, hewan Plistosen penghuni Gua Toe mestinya sejenis hewan yang saat ini hidup di ketinggian 1000 meter. Lalu mengapa mereka ditemukan di ketinggian yang jauh lebih rendah seperti Ayamaru (+ 350 meter) ?
Unit berumur Plistosen di Gua Toe ternyata menceritakan beberapa kisah menarik tentang perubahan iklim setelah the Last Glacial Maximum. Periode Last Glacial Maximum ini terjadi sekitar 26.000 tyl. Selama periode ini temperatur menurun drastis. Hewan-hewan yang biasa hidup di ketinggian +1000 meter melakukan penyesuaian dengan cara menuruni lereng mencari tempat yang relatif lebih hangat, maka mereka turun sampai wilayah Ayamaru (+350 m).
Zone-zone vegetasi yang biasa ditemukan di kawasan lereng-puncak pun turun sampai kaki pegunungan. Temperatur menghangat kembali sekitar 12.000-10.000 tyl dan telah menyerupai kondisi sekarang.
Demikian sedikit kisah prasejarah manusia purba di Papua dan Kepala Burung yang jumlah penelitiannya masih sangat langka. Ditunjukkan pula bagaimana geologi dan paleo-klimatologi dapat membantu analisis kawasan hunian manusia prasejarah bersama spesies-spesies fauna dan flora yang sezaman.
Hanya dua gua di Plato Ayamaru yang baru diselidiki prasejarahnya, padahal begitu banyak gua yang terbentuk di plato kars gamping ini. Kita pun sama sekali belum melihat kars topografi batugamping Kais di Pulau Misool dan Semenanjung Onin yang pada Mio-Pliosen kedua wilayah ini sama-sama terangkat sebagai kompensasi isostatik saat bagian utara Cekungan Salawati makin tenggelam.
Masih banyak sekali yang tersembunyi yang belum diketahui orang tentang Papua. Papua adalah paradise untuk penelitian, seperti kata Edward O. Wilson, ahli biologi terkenal:
“Papua has lasted into the twenty-first century as largely a blank space on the map, and we will do well to treasure it for that.”
Sumber: indocropcircles.wordpress.com
1 komentar :
makasih gan buat infonya dan semoga bermanfaat
Post a Comment