♠ Posted by
Unknown
in
Story
at
2:43:00 PM
“Adalah setengah mitos,” jawab Nasution dalam Bisikan Nurani Seorang Jenderal,
“di minggu-minggu pertama merdeka maka rakyat dengan bambu runcing
seakan-akan pagar betis menjadi kekuatan untuk memaksa pejabat di
kantor, lingkungan, pabrik, dan lain-lain agar taat kepada RI. Tapi,
pada pertempuran real, bambu runcing itu lebih banyak jadi senjata
semangat.”Di beberapa daerah, terdapat monumen bambu runcing. Ini melengkapi glorifikasi sejarah nasional yang dibangun Orde Baru bahwa merebut dan mempertahankan kemerdekaan seolah hanya melalui perjuangan bersenjata. Padahal perjuangan politik dan diplomasi juga memainkan peran penting.
Menurut R.H.A. Saleh dalam Mari Bung, Rebut Kembali!, bambu runcing mulai dikembangkan semasa pendudukan Jepang, yang terkenal dengan sebutan takeyari. Senjata ini digunakan untuk menghadang pasukan payung musuh yang diterjunkan dari udara. Tentara Jepang juga melatih laki-laki dan perempuan cara menggunakantakeyari, yang kalau digunakan biasanya dibarengi teriakan keras dan pekik kemarahan. “Seperti layaknya seorang prajurit dengan senapan yang bersangkur,” tulis Saleh.
Latihan bahaya udara digiatkan terutama ketika Jepang kian terdesak Sekutu. Rakyat dilatih perang-perangan. Sawah-sawah dipasangi bambu runcing untuk merintangi penerjunan tentara musuh.
Namun, bambu runcing pula yang digunakan pejuang Republik untuk menghadapi Jepang. Tak hanya para pejuang dari kelaskaran yang menggunakan bambu runcing. Sebagian besar anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) juga menggunakan bambu runcing. Maklum, setiap kesatuan BKR –menjadi Tentara Keamanan Rakyat pada 5 Oktober 1945– hanya memiliki senjata api tidak lebih dari satu persen, terutama dipegang para komandan.
“Dengan senjata bambu runcing itu, mereka mencari bedil,” tulis Slamet Muljana dalamKesadaran Nasional Volume 2.
Ini antara lain dilakukan Hizbullah di Magelang ketika menyerbu butai Jepang yang menjadi gudang senjata. Dari sinilah mereka mendapatkan senjata.
“Menyerbu dengan bambu runcing di tangan?” tanya KH Saifuddin Zuhri, dalam otobiografinya Guruku Orang-orang dari Pesantren.
Rupanya Jepang mendarat di pantai laut dekat Eretan, langsung menuju Subang dan akhirnya mengancam Kalijati juga. Belanda pun menyerah, dan Jepang menguasai Jawa. Strategi bambu runcing yang sebelumnya dipakai oleh Belanda justru dimanfaatkan oleh pihak Jepang. Bambu runcing kemudian dijadikan alat latihan baris-berbaris para pemuda Seinendan, Keibodan, Gakutotai, Hizbullah dan lain-lain. para pemuda dengan penuh semangat mempergunakan “takeyari” ini untuk ditunjukan kepada musuh Jepang yakni sekutu, termasuk Belanda.
Apakah berarti Belanda yang menggunakan bambu runcing pertama kali, lalu diadopsi oleh Jepang dan akhirnya pejuang kita? Untuk memahami sejarahnya, kita harus mengikuti kisah berikut ini, "Bambu Runcing Parakan." Di daerah Parakan Temanggung, Jawa Tengah, hiduplah Kiai Subchi, seorang ulama yang sangat tawadhu dan dihormati masyarakat sekitar. Kiai Subchi tiap hari berkeliling kampung mengajar ngaji dan menjadi penyuluh pertanian. Bila ada satu persoalan, masyarakat sering mendatanginya untuk mencari solusi.
Di tahun 1941, dia mengumpulkan para santri dan pemuda desa untuk mengadakan persiapan perang. Hadir dalam pertemuan tersebut Kiai Noer (Putera Kiai Subchi) dan lurah Masúd (Adik Kiai Subchi). Dalam pertemuan tersebut dibentuk pasukan Hizbullah-Sabilillah di bawah pimpinan Kiai Subchi sendiri.
Pasukan yang baru dibentuk ini mengalami kendala dalam hal persenjataan. Yang ada baru pedang, golok, klewang, keris, tombak dan sebagainya. Namun senjata-senjata ini pun terbatas dimiliki warga. Sebab itu, Kiai Noer mengusulkan agar pasukan yang bari dibentuk ini dipersenjatai dengan cucukan (Bambu yang diruncingkan ujungnya). Dengan alasan bambu mudah diperoleh di mana-mana dan mudah membuatnya. Selain itu, luka yang diakibatkan oleh tusukan cucukan juga lebih parah akibatnya sehingga sulit di obati.
Pasukan yang baru dibentuk ini mengalami kendala dalam hal persenjataan. Yang ada baru pedang, golok, klewang, keris, tombak dan sebagainya. Namun senjata-senjata ini pun terbatas dimiliki warga. Sebab itu, Kiai Noer mengusulkan agar pasukan yang bari dibentuk ini dipersenjatai dengan cucukan (Bambu yang diruncingkan ujungnya). Dengan alasan bambu mudah diperoleh di mana-mana dan mudah membuatnya. Selain itu, luka yang diakibatkan oleh tusukan cucukan juga lebih parah akibatnya sehingga sulit di obati.
Usul ini akhirnya diterima secara mufakat. Hanya
saja, menurut Kiai Subchi masih ada kendala, yakni bagaimana membuat
rakyat bersemangat dan yakin jika hanya dengan bersenjatakan cucukan,
bisa menghadapi musuh dan meraih kemenangan.
Peristiwa
ini menimbulkan 'darah baru' atau semangat di kalangan pemuda saat itu
dan yakin jika senjata baru ini memiliki keistimewaan yang dahsyat. Hal
ini akhirnya menjadi satu “ritual”
yang tidak dilewatkan, setiap ada pasukan baru dengan senjata cucukan,
mereka pasti mendatangi Kiai Subchi untuk meminta doánya.
Setahun
setelah firasat Kiai Subchi, Jepang pun datang dan pecah perang besar
antara Belanda melawan Jepang. Pasukan Jepang pernah ingin menguasai
Parakan, namun dihadang oleh Pasukan Bambu Runcing Kiai Subchi. Dan
akhirnya Jepang pun mengurungkan niatnya ke Parakan dan meneruskan
geraknya ke Wonosobo. Kabar keberhasilan pasukan cucukan Kiai Subchi
menghalau pasukan Jepang ini menjadi buah bibir pasukan lainnya.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Magelang masih diduduki Jepang. Pasukan Hizbullah dari daerah Parakan dan daerah Kedu bersatu untuk mengusir Jepang dari Magelang. Dalam pertempuran tersebut Jepang terlihat sangat ketakutan menghadapi pasukan cucukan yang di pimpin Kiai Subchi. Hal ini menaikan pamor senjata cucukan atau Bambu Runcing.
Sejak itulah, seiring naiknya pamor cucukan, maka sosok Kiai Subchi pun menjadi terkenal. Apalagi pasukannya juga berhasil memukul mundur pasukan Gurkha dari Magelang hingga ke Semarang. Para pejuang kemerdekaan pun berduyun-duyun datang ke Parakan, lengkap dengan bambu runcingnya, untuk menemui Kiai Subchi dan meminta doá nya.
Para
pejuang itu datang dari Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta
sampai kawasan Banyuwangi, dengan naik kereta api yang penuh sesak
dengan bambu runcing. Sejak saat itu bambu runcing telah menjadi senjata
Jihad Fii Sabilillah yang terkenal keampuhannya. Bambu Runcing yang
dipakai Kiai Subchi sendiri menjadi legenda. Bahkan diminta oleh Museum ABRI untuk dijadikan koleksi bersejarahnya.
1 komentar :
Agen Judi Online
Agen Bola Online
Agen Bola Terbaik
Agen Judi Bola
Agen Judi Kasino
Berita Bola
Berita Bola Terkini
Berita Bola Terupdate
Berita Terkini
Berita Terupdate
Post a Comment